[08 Mei 2025], Model prediktif dalam geoinformatika pertanian menjanjikan efisiensi dan akurasi dalam pengambilan keputusan, mulai dari prediksi hasil panen hingga pemetaan kebutuhan input lahan. Di atas kertas, pendekatan ini tampak ideal—data spasial yang dikombinasikan dengan machine learning, pemodelan iklim, dan data historis pertanian dapat menghasilkan sistem rekomendasi yang cepat dan presisi. Namun ketika diterapkan di lapangan, terutama dalam konteks pertanian tropis seperti Indonesia, asumsi-asumsi dasar dalam model tersebut kerap berbenturan dengan kenyataan agronomik yang jauh lebih kompleks dan dinamis.
Salah satu persoalan utama adalah ketergantungan pada data homogen yang diasumsikan merepresentasikan suatu wilayah secara keseluruhan. Model prediktif sering tidak cukup sensitif terhadap variasi mikro seperti perbedaan tekstur tanah dalam satu hamparan lahan, kontur yang tidak seragam, hingga perbedaan teknik budidaya antarpetani dalam satu desa. Misalnya, dua petani di lahan yang bersebelahan bisa saja memiliki hasil panen yang berbeda karena perbedaan perlakuan terhadap tanaman, rotasi tanaman, dan pengairan—hal-hal yang tidak selalu tertangkap oleh algoritma prediktif berbasis citra satelit atau data iklim makro. Selain itu, banyak model menggunakan algoritma yang dibangun berdasarkan data dari luar konteks lokal. Model yang dikembangkan dengan data dari sistem pertanian intensif di negara maju, sering kali tidak kompatibel saat diterapkan di wilayah dengan sistem pertanian semi-tradisional. Hal ini menyebabkan terjadinya overestimasi atau underestimasi dalam hasil prediksi, dan dalam beberapa kasus, justru menyesatkan proses pengambilan keputusan oleh petani atau penyuluh lapangan.
Validasi model secara lapangan sering kali diabaikan atau dilakukan secara terbatas. Padahal, ground truthing merupakan komponen vital dalam membangun model yang benar-benar representatif. Tanpa proses ini, model hanya akan menjadi simulasi berbasis asumsi—bukan representasi realitas. Di sisi lain, aspek sosial seperti keputusan petani dalam memilih komoditas, teknik pengolahan, hingga penggunaan pupuk dan pestisida, sering kali tidak dimasukkan dalam variabel prediktif. Geoinformatika cenderung menekankan dimensi spasial dan biofisik, namun melupakan bahwa pertanian adalah aktivitas yang sangat bergantung pada keputusan manusia yang adaptif dan kontekstual. Mengabaikan dinamika ini akan membuat model kehilangan relevansi aplikatifnya.
Solusi dari permasalahan ini bukanlah menolak keberadaan model prediktif, tetapi merevisi pendekatan dalam membangunnya. Pengembangan sistem geoinformatika pertanian harus memadukan data spasial dengan pengetahuan lokal, partisipasi petani, dan proses validasi iteratif di lapangan.
Model hybrid yang menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif, atau model adaptif yang mampu belajar dari input lokal secara berkelanjutan, akan jauh lebih efektif daripada pendekatan top-down yang hanya berfokus pada teknokrasi. Selain itu, pelatihan kepada petani dan penyuluh dalam membaca serta menginterpretasikan output model juga sangat penting. Interpretasi manusia masih menjadi jembatan utama untuk menjembatani hasil model dengan praktik nyata di lapangan.
Model prediktif dalam geoinformatika pertanian memang menawarkan potensi luar biasa untuk mendukung pertanian presisi, namun penggunaannya harus dilakukan dengan kesadaran kritis terhadap keterbatasannya. Tanpa proses validasi yang kuat, penggabungan dengan realitas sosial-agronomik, dan adaptasi terhadap konteks lokal, model tersebut hanya akan menghasilkan peta-peta presisi semu. Masa depan pertanian presisi terletak bukan hanya pada kekuatan teknologi, tetapi pada kemampuannya untuk menyatu dengan dinamika sosial-ekologis yang melingkupi praktik pertanian itu sendiri. Artinya, presisi sejati adalah ketika teknologi mampu membaca realitas, bukan sekadar memaksakan simulasi.
Referensi
Li, Z., Wang, Y., & Atzberger, C. (2021). Challenges and solutions for remote sensing-based yield estimation in smallholder farms. Remote Sensing, 13(1), 18.
Brogi, C., et al. (2023). Participatory spatial modeling to support site-specific agronomy in fragmented agricultural systems. Agricultural Systems, 205, 103537.
Tadesse, T., et al. (2022). Integrating indigenous knowledge into geospatial models for climate-smart agriculture. Climate Risk Management, 35, 100403.
Zhang, Y., Yang, L., & Zhou, Z. (2020). Edge computing for agricultural IoT: A data-fusion-enabled intelligent monitoring approach. IEEE Internet of Things Journal, 7(5), 4070–4081.
Mulla, D. J., & Khosla, R. (2019). Historical evolution and recent advances in precision farming technologies. In Precision Agriculture for Sustainability and Environmental Protection, 1–35.